Langsung ke konten utama

Perbedaan Makki dan Madani


Definisi Makki dan Madani
 
Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani para ulama bersandar pada dua cara utama: sima’i naqli (pendengaran seperti apa adanya) dan qiyas ijtihadi (kias hasil ijtihad). Cara pertama didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunya wahyu, atau dara para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada cara yang pertama yaitu dengan mengetahui riwayat sahih dari para sahabat.  
Untuk membedakan makki dan madani, para ulama mempunyai tiga cara pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.
Pertama: Dari segi waktu turunnya.
Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah adalah madani 
Contoh : ayat yang diturunkan pada tahun penaklukan kota makkah , firman Allah: `Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak…` ( an-Nisa` : 58 ). Ayat ini diturunkan di mekkah dalam ka`bah pada tahun penaklukan mekkah. Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut. Karena ia lebih memberikan kepastian dan konsisten. 
Kedua : Dari segi tempat turunnya. 
Makki adalah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan Sil`. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, sehingga ia tidak dinamakan makki ataupun madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan dimakkah sesudah hijrah disebut makki. 
Ketiga : Dari segi sasaran pembicaraan. 
Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk mekkah dan madani ditujukan kepada penduduk madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur`an yang mengandung seruan yaa ayyuhannas ( wahai manusia ) adalah makki, sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyu halladziina aamanuu ( wahai orang-orang yang beriman ) adalah madani.
Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur`an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, dan ketentuan demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah baqarah itu madani, tetapi didalamnya terdapat ayat makki.

Faedah Makki dan Madani


1     Untuk menjadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an Pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkanya dengan tafsiran yang benar. Walaupun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Maka dari itu penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantar ayat keduanya terdapat kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang terdahulu. 
2      Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkanya dalam metode dakwah menuju jalan allah
Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikhendaki oleh situasi merupakan arti penting khusus dalam retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam Qur’an pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya yaitu sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan bicara dan menguasai pikiran dan perasaanya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.

3      Mengetahui sejarah hidup nabi melalui ayat-ayat Qur’an Sebab turunya wahyu kepada Rasulallah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode Mekkah maupun Madinah. Sejak permulaan turunya wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur’an adalah sumber pokok periwayat hidup Rasulallah SAW.  [1]

Ditulis Oleh : Achmat Eko Frasetio




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Hadis Pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin

Periode ini disebut ‘Ashr-At-Tatsabut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada 11 H. beliau meninggalkan dua pegangan dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar dan terbatas. Bahkan pada masa itu Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya, umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatianya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an. Ada dua sahabat yang meriwayatkan hadis, yaitu a.        Dengan lafazh asli, yaitu menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW b.       Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafazh asli dari nabi SAW. Pada masa ini, Khalifah Umar mempunyai gagasan untuk membukukan hadis, namun maksud tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah.

Ulul Albab

Kita semua pasti sudah mengenal Newton, si raja teori gravitasi. Penemuan rumus gravitasinya membuat namanya melambung dan tersohor seantero dunia. Bak gayung bersambut, generasi demi generasi mengenalnya sebagai tokoh sains legendaris. Namun, dalam kesempatan kali ini, saya mengajak anda sebentar melintasi lorong waktu sebelum si Newton menemukan teori gravitasinya. Alkisah, konon ceritanya Newton suatu ketika di sela-sela waktunya, ia duduk di bawah pohon apel. Tiba-tiba sebuah apel jatuh. Ada versi cerita yang mengatakan bahwa apel itu jatuh tepat mengenai kepalanya, ada juga yang mengatakan bahwa apel itu jatuh tepat di depannya. Fenomena buah apel jatuh dari pohonnya tersebut mengusik pikiran si  Newton. Pikirannya berkecamuk seambrek pertanyaan. "Kenapa apel tersebut jatuhnya ke bawah?" "Kenapa bukan ke atas?" "Kenapa jatuhnya kok selalu lurus ke bawah?" "Kenapa jatuhnya kok cepat?" "Berapa kecepatan jatuhnya?" b...